latest Post

Airmata Ibu Pertiwi (Kegelisahan Seorang Blogger tentang Negerinya)

Andai Negeri ini bisa bicara, pasti akan ada satu tanya yang terdengar dari segenap penjuru mata angin, siapa yang pedulikan aku ?

Ketika para petingginya main tebak-tebakan, berapa jumlah rakyat miskin, seorang jermal, yang pasti miskin, tenggelam di laut lepas demi upah dua ribu rupiah, dan di saat yang sama para ekonomnya terinspirasi mencetak pecahan uang “dua ribu” an.

Ketika petingginya petinggi berteriak meyakinkan rakyatnya, bahwa ke depan harus ada kepastian hukum yang menjamin kesejahteraan nasib TKI yang bekerja di negara-negara sahabat, nanar semua mata menyaksikan berita di televisi tentang TKW yang kehilangan satu telinganya dan satu matanya hampir lepas akibat penganiayaan yang sungguh tidak menjamin kesejahteraan siapapun.

Dan ketika seluruh elemen masyarakatnya dipaksa bangga atas laporan Tranparansi Internasional tentang pergerakan peringkat predikat sebagai negara terkorup di dunia menjadi “lebih baik”, meski masih berada di zona merah dalam peta korupsi di dunia, seorang garong kampiun uang rakyat sedang menikmati aneka hidangan Japaness food di sebuah restoran di negara sahabat.

Ketimpangan-ketimpangan terus terjadi & berulang-ulang menggoyahkan sendi-sendi kekuatan berbangsa & bernegara di Indonesia. Meski sudah lebih dari setengah abad merdeka, kedewasaan belum juga menyentuh pola pikir ketatanegaraan.

Salah satu ciri khas ketidakdewasaan adalah kesulitan memetik pelajaran dari pengalaman. Semua hal adalah baru. Semua orang berburu yang baru. Semua yang dikerjakan tidak berkelanjutan, putus-putus, patah-patah, musiman & tidak menemukan ujung masalah yang dapat mengurai simpulnya.

Semua Masalah Ada Simpulnya
Hiruk-pikuk Pilkada, Pileg & Pilpres yang baru lalu diwarnai dengan gelapnya data base tentang kependudukan. Tidak ada yang dapat memastikan berapa sesungguhnya jumlah penduduk Indonesia. Dan yang sudah dapat dipastikan adalah bahwa pengembangan data kependudukan, seperti perbandingan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, kesehatan, dsb pun tidak akan pernah valid.

Pertanyaannya adalah : apa alat ukur program, kegiatan, kinerja, tujuan, bahkan harapan & impian sekalipun, apabila keberadaan penduduknya saja tidak terukur ?

Pertanyaan selanjutnya : kenapa tidak segera dimulai dengan membuat sistem pencatatan kependudukan yang valid, akurat & transparan ?

Penduduk adalah bangsa. Ia adalah satu unsur berdirinya sebuah negara, di samping pemerintahan & wilayah. Ketika data base tentang siapa, apa, kapan, berapa dan di mana sebuah program & kegiatan harus dilaksanakan tidak jelas, maka hasilnya tidak akan terukur, programnya tidak terencana, dan kinerjanya pun akan sulit dinilai. Oleh karena itu, betapa urgen penataan kependudukan dalam sebuah negara.

Pepatah China menyebutkan : Kalau ingin menguasai sebuah negara, maka kuasailah pendidikan bangsanya. Berkhayal bahwa ada tangan-tangan yang bertarget untuk menguasai negeri ini demi kepentingan tertentu, mungkin terlalu su uzzhan . Tetapi melihat sejarah pendidikan di Indonesia yang seakan tidak menemukan pola, frame, patroen yang permanent mengantarkan bangsa ini well educated, agaknya make sense enough.

Negara sahabat paling dekat, Malaysia, Singapura & Brunei Darussalam memiliki berbagai kemapanan yang Indonesia inginkan. Bahkan saking mapannya, hanya karena ulah satu warga negara (Malaysia, Noordin Mohammad Top) nya, Indonesia dibuat klimpungan selama hampir satu dasawarsa.

Hingga tahun 1980 an, Malaysia masih intens mengirim para pelajarnya berguru di Indonesia dalam berbagai bidang. Dan hal itu terbalik dengan tidak elok pada sekitar 20 tahun terakhir ini.
Indonesia mengirimkan bangsanya ke negara-negara sahabat bukan untuk mengejar level pendidikan, tetapi mencari sesuap, dua suap, tiga suap nasi demi bertahan hidup lebih lama.
Pasti ada yang harus diperbaiki dalam pembangunan urusan pendidikan di Indonesia.

Kulihat Ibu Pertiwi sedang Bersusah hati…
Senandung lara Ibu Pertiwi terus mendayu-dayu menggelitiki semua telinga bangsa ini di mana pun ia berada, agar terbangun, agar tersadar, agar peduli untuk menceriakan wajah negeri ini di mata bangsanya sendiri, terlebih lagi berharap agar digjaya di mata bangsa-bangsa lain di jagat raya.

Ketika hasil survey sembarang menyebutkan bahwa hasil tes mahasiswa masuk ke perguruan tinggi tentang perbendaharaan lagu-lagu kebangsaan, sangat minim, untuk tidak menyebut ‘tidak ada’, hal ini menunjukkan bahwa selama 12 tahun mengenyam pendidikan di sekolah telinganya langka menangkap nyanyian pemacu adrenalin kebangsaannya. Bahkan lagu-lagu pun diproduksi besar-besaran di negeri ini tanpa kepedulian bahwa menyimaknya can be inspiring to do or making something penikmatnya.

Sebuah “survey” menakjubkan pun memaparkan data lain yang tidak kalah spektakuler dengan kiprah Mr. MNT yang warganegara Malaysia itu. Betapa tidak, pada event yang melibatkan ribuan pihak dan telah diagendakan dalam setiap kalender di negeri ini, Pidato Kenegaraan yang merupakan rangkaian penting dalam tataran perwujudan keindonesiaan, tiba-tiba, Jum’at, 14 Agustus 2009, kehilangan satu space di ruang hati segenap bangsa ini, bergetar seluruh sendi-sendi sakral kebangsaan saat diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Inna lillahi wa inna ilayhi raji’un… !

Gedung DPR RI berisi ribuan bangsa itu “tersihir” untuk tidak pedulikan “Indonesia Raya”.
Kecemasan makin menghantui, jangan-jangan Allah SWT sedang melemparkan ‘pecut’Nya pada titik kesadaran bangsa ini, karena jangan-jangan negeri ini sudah kehilangan anak bangsanya yang peduli pada nasib Ibu Pertiwi, dan jangan-jangan semua daya upaya yang sudah dihamburkan selama ini adalah upaya perseorangan atau kelompok tertentu saja untuk menggali harta warisan yang luar biasa melimpah-ruah sang Ibu Pertiwi guna kepentingan partial, target individual, sesaat dan sementara, tanpa mempedulikan nasib Ibu Pertiwi 10, 50, 100, 1000 tahun yang akan datang.

Nasib bangsa yang nyata-nyata “hidup” saja tidak berada dalam rencana yang terukur, terjadwal dan terkendali, maka bagaimanakah nasib tanah air dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote ? Bagaimana Indonesia dapat mempertahankan pulau-pulau kecil dan terpencil yang bahkan namanya pun belum sempat dipikirkan oleh pemerintahan republik ini dari incaran mata dunia yang tergiur akan potensi kekayaan alamnya ? Dan bagaimana Indonesia dapat menyelamatkan Aceh, Papua dan daerah-daerah rawan konflik agar tidak tertarik untuk memisahkan diri dari Bumi Pertiwi ?

Harus ada tangan-tangan terampil, otak yang cerdas, badan yang kuat, serta hati yang tulus untuk menghapus airmata Ibu Pertiwi.

Wallahu A’lam Bissawab

About Bungzhu Zyraith

Bungzhu Zyraith
Recommended Posts × +

11 komentar:

  1. Masalah validasi kependudukan, selama masih bisa bikin KTP tembak.. kaya'nya gak bakalan tercapai tuh.

    Masalah bangsa kita yang merantau ke negeri orang, juga karena pupusnya harapan untuk mencari sesuap nasi dan segenggam berlian di negeri sendiri. Padahal ada pepatah,
    "hujan emas di negeri orang, masih lebih enak hujan batu di negeri sendiri"
    tapi ntah kenapa.. cuma jadi gonggongan anjing (dan sang khafilah pun berlalu).

    kalau bukan kita yang mengisi negara ini dengan kesempatan dan peluang, mau ngarapin siapa? negara lain tentu punya perhitungan tancap-kuku kalau mau investasi di negeri kita.

    Jadi sama-sama lah kita bangun negara kita ini, bung :D
    Sama-sama lah kita membuka kesempatan buat bangsa dan negara ini. Dukung dan berikan perhatian pada pemerintahan, itu yang bisa kita lakukan sebagai warga negara.

    BalasHapus
  2. tampaknya indonesia benar-benar memiliki segudang masalah yang sangat rumit mengurai benang-benangnya.
    andaipun saya dipilih jadi presiden lebih baik nolak daripada stress dikemudian.
    **tapi nyatanya para pemimpin kita koq ga ada yang streess ya :D **

    BalasHapus
  3. @Nich : batul tuh bang...kalau bangsa ini begini2 aja saya rasa harapan untuk maju di masa mendatang akan sulit tercapai.


    @Novi : nyatanya tidak ada yang strees..??? mungkin kekuasaan yang penting bagi mereka, bukan untuk usaha memajukan bangsa

    BalasHapus
  4. memang betul tuh bang dan sudah saatnya ada yang peduli akan nasib dan masa depan negri ini, akan tetapi, yang jadi persoalannya bang, siapakah yang akan menjadi "pahlawan" itu sementara pejabat yang sedang berkuasa tidak pernah memberikan kesempatan akan munculnya "pahlawan" yang betul-betul pahlawan itu.

    BalasHapus
  5. Uhux...uhux... !
    Menyedihkan memang, nak !
    Tapi agama qt bilang : la yay asu mirrahmatillah... ! ga boleh putus asa untuk menggapai kasihsayang Allah... !
    Go... go... go..., Horas !

    BalasHapus
  6. Sukses selalu, jaya Indonesia

    BalasHapus
  7. dapat banget rasa kegelisahannya,...
    dan mungkin semua anak negri merasakan rasa yang sama saat ini

    BalasHapus
  8. Wah menang bang.. dapat 2 pula hihihi... jangan lupa makan2 ya bang... ke Restoran Kampung Nelayan di Medan Fair cukup kok wkwkwk

    BalasHapus
  9. @Zalukhu : iye bang...tenang bang..santai aja...wakakaka

    BalasHapus