Amanah Kita...Sssttt

Pada akhirnya, memang amanah-lah yang justru menjaga, mengawasi, dan mengontrol seseorang,. Ketika pembebanan amanah di lembaga, sebagai apapun ia, akan membuatnya kembali pada kesadaran bahwa dirinya tidak lagi semata2 hanya miliknya. Akan terbangun kesadaran bahwa ada komunitas di depannya, di belakangnya, disampingnya yang membersamainya. Lalu semangat pengontrolan itu mulai bekerja.

Menjadi seorang anak, anak didik, anak bimbing, yang dipimpin atau apapun namanya... adalah amanah yang bersifat individual dalam rangka pembentukan karakter pribadi. Seseorang membangun kesadaran ke dalam dirinya, terus menerus membuat perubahan, dan menciptakan karakter pribadi yang pada akhirnya tidak jauh berbeda dengan karakter komunitas di mana ia tinggal. Semakin cepat ia tanggap dengan perubahan yang digulirkan, maka perkembangan kualitas dirinya akan makin cepat. Akselerasi. Demikian terus hingga tercapai kualitas standar tertentu. Terus menerus begitu. Namun, percepatan yang tidak dibarengi dengan pemahaman yang benar, hanya akan menciptakan pribadi-pribadi yang tampaknya kokoh tapi sebenarnya rapuh. Disana, pengontrolannya bersifat satu arah, ke dalam dirinya. Seseorang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.

Sedang menjadi orang tua, qiyadah (pemimpin), guru atau apapun namanya.... adalah amanah yang salah satunya menunjukkan kemampuan menjagai karakternya sendiri kemudian ditularkannya pada rumah tangga yang membuatnya harus terlibat. Dalam kapasitasnya menjadi pemimpin, seseorang harus mampu keluar dari dirinya untuk kemudian mengajak orang2 di sekitarnya lalu bersama-sama masuk melihat ke dalam dirinya dan pada akhirnya keluar lagi. Lalu, diharapkan tercipta bangunan peradaban baru yang lebih baik dari masing-masing pribadi itu sebagai batu batanya.

Selama pertumbuhannya, seorang anak akan menuntut kondisi terbaik orangtuanya sebagai teladan pertama baginya. Maka, selain dalam rangka memperbaiki dirinya sendiri, syarat mutlak seorang pemimpin adalah berani mengambil sikap teladan pada anak buahnya. Karena anak buahnya-lah yang akan mengontrol perilaku, sikap, tindakan, cara mengambil keputusan, dan pertimbangan2 strategis lainnya dari seorang pemimpin.

Pada banyak kisah, ternyata darah daging kita sendirilah yang lebih banyak berperan dan mempengaruhi hidup kita. Perasaaan bertanggung jawab dari seorang bapak muda, keinginan untuk menjadi teladan yang baik dari seorang ibu, harapan untuk memperbaiki garis hidup keturunan keluarga dan seterusnya, adalah sebagian alasan masuk akal kenapa seseorang secara perlahan (dan kadang tak disadarinya) mengubah kecenderungan-kecenderungan dasarnya dalam mengambil sikap, mengganti pola hidupnya agar lebih bernilai bagi keluarganya yang baru saja terbentuk. Alasan utamanya adalah anak-anak.

Coba renungkan, siapa yang paling bisa menerima seseorang selain bagian dari dirinya sendiri. Iyya,tepat!! mereka...anak2. Atau, justru anak2 itu pula-lah yang paling tidak bisa menerima dan atau yang akan menuntut orang tuanya lebih banyak dari pada orang-orang lainnya, lalu berhadapan sebagaimana bersikapnya seorang musuh.

Pertanyaannya adalah apakah hanya anak yang lahir dari ”rahim”nya saja yang mampu membuat kontrol atas diri seseorang? Kenyataannya, bersikap seperti ibu ato bapak dari anak orang lain ternyata tidak hanya sulit, bahkan hampir mustahil. Tapi itu mungkin.

Lalu, sampai sebatas mana seorang murid mempunyai kekuasaan untuk bisa ”mengatur” bio ritme gurunya, atau seorang bawahan mampu mempengaruhi prilaku pemimpinnya, bukan dalam berkeputusan dan atau berkebijakan ke dalam lembaga (atau sistem yang bekerja di antara mereka), tapi justru manakala bersikap ke luar, saat bergiat di kehidupan pribadi mereka.

Jawabannya tergantung sebesar apa penerimaan, pemahaman dan pengamalan konsep”guru dan murid” atau pun konsep ”pemimpin dan yang dipimpin” itu dalam tiap keterlibatan mereka menjadi idealnya hubungan ”bapak (atau ibu) dan anak”. Semakin keterlibatannya berkiblat pada hubungan tersebut maka makin mungkin fungsi pengontrolan sebagai fungsi penjagaan itu berkekuatan. Tentu saja ini konversi kepemilikan dan kepercayaan yang tidak mudah, tidak singkat. Perlu interaksi dua arah yang berkualitas. Nah, inilah yang susah, dan kadang justru mengawali kegagalan hubungan yang belum matang bertunas.

Indikasi kematangan sebuah hubungan tergantung prosentase ”keterikatan hati” pada masing2 pihak yang bersangkutan. Kualitas komunikasi yang baek menjadi demikian penting karena akan menopang seberapa jauh dan seberapa lama keterikatan itu tersimpul, dan itu sebanding dengan rasa percaya yang terbangun sesudahnya.

Hal tersebut akan terejawantahkan dalam kesadaran komunitas bahwa masing-masing mereka merasakan keberadaannya ada dan saling membutuhkan satu sama lain. Lalu, bisa dipastikan walau hanya seujung perasaan...kekuatan kontrol itu akan bekerja. “Setelah saya pelajari dari banyak biografi para pejuang,dan atau orang2 yang berkarakter pemimpin, adalah mereka yang BAPAKNYA mempunyai visi yang jelas dalam hidup. Karenanya mereka hidup dengan tujuan yang sudah tervisualisasi dari awal dan tidak hambar menentukan pilihan. Memang benar, lingkungan dimana seseorang tinggal akan sangat mempengaruhi tiap keputusan dan jalan hidup yang akan ditempuhnya, tapi Ketokohan Bapaknya-pada dirinya-lah yang kemudian lebih banyak dominan mengantarkannya melihat dunia sebelum dia mampu melihat dengan matanya sendiri.

Juga membantunya mendengar prinsip, sebelum dia mengkomitmenkan prinsip hidupnya sendiri dan Menyentuhkannya pada gagasan2 besar yang strategis, sebelum dirinya sendiri mampu menjadi ahli rekayasa sosial."
post signature

3 komentar:

Time Management Atau Self Management?



Barusan, saya habis jalan-jalan dari Blognya kang Dadang, sudah dipastikan semua isi tulisan beliau merupakan tulisan-tulisan yang sangat inspiratis. Berikut ini saya ingin berbagi sebuah tulisan yang bersumber dari blog beliau. Selamat Membaca dan Actions. Semoga bermanfaat.

Mana yang lebih penting menurut pendapat Anda; Mengelola Waktu atau Mengelola Diri? Di sekolah-sekolah management terkemuka, Time Management dibahas dalam modul khusus. Tetapi, adakah kurikulum sekolah tingkat dunia yang memiliki modul Self Management? Hal ini menandakan jika kita lebih memperhatikan teknik-teknik Mengelola Waktu daripada Mengelola Diri. Itulah sebabnya mengapa meski sudah belajar banyak, kita tidak pernah berhenti mengeluhkan tentang waktu. Firman Tuhan menyatakan bahwa kualitas waktu seseorang sangat ditentukan oleh kualitas dirinya sendiri. Bukan sebaliknya. Meskipun seseorang memiliki waktu yang banyak, “Jika dia tidak beriman”, demikian firman Tuhan, “Maka manusia berada dalam kerugian”. Bahkan iman pun belum cukup. Jika dia tidak melakukan amal saleh, maka dia juga rugi. Artinya, bukan Mengelola Waktu yang paling menentukan hidup seseorang, melainkan ‘Mengelola Diri’. Hal ini berlaku di kantor, di rumah, dan dimana saja. Mengapa demikian? Inilah 5 faktor penentunya.

1. Waktu Anda besifat netral, sedangkan diri Anda bersifat sentral. Tidak ada mahluk yang lebih adil daripada waktu. Jumlah waktu yang Anda dapatkan sama persis seperti yang orang lain dapatkan, bukan? Diri Andalah yang menjadi titik sentral paling menentukan apakah waktu Anda berharga atau sia-sia. Anda boleh berleha-leha, atau bekerja keras. Anda boleh mengerjakan aktivitas yang bermanfaat, atau berkutat dengan kesia-siaan. Tinggal Anda tentukan sendiri; apa yang menjadi prioritas utama dalam hidup Anda. Sekedar permainan dan senda gurau? Atau memupuk amal, perbuatan, dan kegiatan produktif yang memberi makna kepada hidup Anda?

2. Waktu Anda terbatas, sedangkan kapasitas diri Anda belum ketahuan batasnya. “Aku tak punya waktu!” begitu orang biasa mengeluhkan. Padahal semua orang juga tahu jika dia punya 24 jam sehari. Anehnya lagi; dia membuang-buang waktu yang terbatas itu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Tetapi, apakah Anda sudah mengetahui dimana batas kapasitas diri Anda? Setahu saya, belum ada orang yang mampu mengenali batas maksimal potensi dirinya. Jika Anda berkutat dengan waktu, maka pasti ada banyak keterbatasan. Tetapi jika bersedia belajar mengoptimalkan potensi diri, maka Anda tidak akan pernah kekurangan bahan bakar untuk terus menghasilkan karya terbaik dalam hidup.

3. Kualitas pekerjaan Anda, bukan berapa lama Anda mengerjakannya. Coba perhatikan, berapa lama Anda mengerjakan tugas-tugas Anda di kantor. Banyak orang yang bekerja sedemikian lamanya, namun produktivitasnya tetap saja rendah. Mengapa bisa begitu? Karena masih banyak orang yang mengira bahwa semakin lama mengerjakannya, semakin terlihat bagus konditenya. Makanya banyak orang yang berlama-lama di kantor namun tidak jelas apa yang dikerjakannya. Berfokuslah kepada kualitas kerja Anda, maka dalam 8 jam yang Anda habiskan dikantor, Anda bisa menghasilkan lebih banyak karya nyata. Itulah prinsip fundamental produktivitas kerja.

4. Manfaat pekerjaan Anda, bukan jumlah waktu yang Anda berikan. Pernahkah Anda mengukur nilai manfaat dari setiap aktivitas Anda? Banyak orang yang meluangkan waktu begitu banyak untuk hal-hal yang sia-sia, dan menunda-nunda hal-hal yang sangat penting. Ini bukanlah soal memenuhi kesenangan, melainkan soal prioritas hidup. Apakah Anda akan memprioritaskan aktivitas yang memberi manfaat kepada orang banyak atau mendahulukan ego belaka. Sudah saatnya untuk benar-benar menyadari bahwa hidup ini terlalu singkat untuk dipenuhi oleh kesia-siaan. Sedangkan setelah kehidupan ini berakhir, ada sebuah sidang pertanggungjawaban.

5. Perpanjangan jumlah amal Anda, bukan perpanjangan waktu. Waktu tidak pernah bisa diperpanjang, termasuk dalam pertandingan sepak bola sekalipun. Tetapi Anda bisa memperpanjang jumlah amal dengan cara menggunakan waktu untuk saling menasihati dalam melakukan kebaikan dan mengurangi keburukan. Ketika seseorang berbuat baik sesuai dengan ajakan Anda, maka pahalanya mengalir terus. Ketika dia berhenti berbuat keburukan seperti yang Anda nasihatkan, maka pahalanya juga terus Anda dapatkan; bahkan sekalipun Anda sudah meninggal. Waktu tidak bisa diperpanjang. Tetapi amal baik setiap umat manusia, bisa menjadi investasi abadi.

Mari berhenti mengeluhkan tentang terbatasnya waktu. Karena berapapun waktu yang kita miliki tidak akan pernah kita anggap cukup. Mulailah ‘Mengelola Diri’ dengan berfokus kepada ‘apa yang kita lakukan’ dalam waktu yang serba terbatas ini. Karena tindakan kita dalam mengisi waktu itulah yang akan menentukan apakah kita memiliki daya saing yang tinggi atau tidak? Karena setiap tindakan kita menentukan apakah di akhirat kelak kita akan memiliki limpahan waktu untuk bersenang-senang. Atau terlalu banyak waktu untuk menanggung kemarahan Tuhan.

Source : DadangKadarusman

post signature

0 komentar: